Wednesday, June 22, 2005

Meniti Tangga-tangga Cinta

Meniti Tangga-tangga Cinta ( Budiman Mustofa, Lc )

Kecintaan, loyalitas dan jiwa pembelaan serta pengorbanan di dalam Islam ada tiga: kepada Allah, kepada Rasulullah dan kepada kaum muslimin umumnya. Tiga tangga kecintaan ini mempunyai hubungan yang paralel. Jika salah satu tangga putus dan tidak utuh berarti iman seseorang belum mencapai tingkatan yang sempurna.
Dalam beberapa hadis Rasulullah SAW menyinggung hal tersebut. Dari Anas r.a, nabi SAW bersabda: "Tidaklah sempurna iman seseorang sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (Muttafaq 'Alaih). Dari hadis ini bisa ditarik pesan bahwa cinta kepada sesama saudara muslim dimanapun berada dan apapun warga negaranya adalah tangga pertama menuju cinta Allah. Ini suatu keniscayaan.
Dalam hadis lain diriwayatkan: "Tidaklah kalian termasuk orang yang cinta kepadaku hingga hawa kalian mengikuti segala apa (doktrin-doktrin Islam) yang aku bawa". Riwayat lain: "Ada tiga hal yang barangsiapa memilikinya maka ia akan mendapatkan manisnya iman: hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang hanya karena Allah dan membenci seandainya ia kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya sebagaimana ia membenci akan dilemparkan ke neraka." (Muttafaq 'Alaih). Hadis tersebut mengisyaratkan adanya konsekuensi bahwa siapa yang cinta kepada Allah dan rasul-Nya berarti harus rela mengesampingkan cintanya kepada yang lain. Dan cinta kepada Allah berarti tangga cinta yang terakhir.
Dengan demikian kecintaan dan loyalitas kepada Allah dan rasul-Nya juga harus dinomorsatukan dari kecintaan kepada yang lain. Akan tetapi bukan berarti jika seseorang sudah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya tidak perlu lagi menjalin loyalitas kepada yang lain. Justru dengan loyalitas seorang hamba kepada Allah dan rasul-Nya tersebut ia hiasi dengan kecintaan kepada yang lain. Seperti kecintaan kepada saudara, orang tua, anak, suami, istri, harta, tempat tinggal dan lain-lain. Dengan demikian kecintaan kepada selain Allah dan rasul-Nya akan berada selalu dalam naungan ridlo, rahmat dan inayah-Nya. Ia akan diberkahi, dibimbing dan diarahkan serta dijauhkan dari tindak penyelewengan.
Ada sebuah rahasia bahwa dalam bahasa iman dikenal istilah setiap orang yang semakin menggebu rasa cintanya justru akan semakin diliputi rasa takut dan harap-harap cemas kepada pihak yang dicintai. Sebab hanya satu yang ia idamkan yaitu ridlonya. Namun sebaliknya ia akan menghilangkan rasa takut, cemas, derita dan bahaya sekalipun yang terkadang tiba-tiba muncul di depan matanya, sampaipun ia harus mengorbankan nyawanya.
Contoh yang paling nyata adalah ketakutan malaikat kepada Allah. Kecintaannya justru membuatnya semakin mentaati semua perintah Allah, "la ya'shunallah ma amarahum wayaf'aluna ma yu'marun," mereka tidak pernah maksiat kepada Allah dan mereka selalu mentaati semua perintah-Nya dengan seketika. Sebab mereka tahu dengan pasti apa yang disukai Allah dan apa yang tidak disukai.
Demikianlah, tangga-tangga cinta yang harus dilewati oleh seorang yang di hatinya ada iman. Maka cintailah Allah dengan serius nanti akan tumbuh rasa iman. Pupuklah rasa iman tersebut sampai subur, nanti akan timbul rasa takwa (takut). Semakin perkuatlah getaran takwa di kalbu, nanti akan timbul semboyan ihsan (egosentris 'ubudiah) dalam segala hal. Maka naikilah tangga-tangga cinta itu dengan jiwa yang sabar niscaya akan didapati kebahagiaan yang tidak semu yang tidak menyimpan bencana; bahagia dunia dan akhirat. Fastabiqulkhairat.

MAWAR

Dari sekian bunga yang selalu menarik disimak adalah mawar. Setidaknya, itulah yang disimbolkan oleh banyak orang tentang mawar. Bunga indah dengan aneka warna dan wangi ini sering menjadi simbol multi tafsir. Buat pemuja keindahan, mawar menjadi simbol yang cocok untuk menggambarkan keindahan, kecantikan, dan sejenisnya. Sebaliknya, buat yang curiga, menggambarkan mawar sebagai keindahan yang menjerumuskan. Karena mawar yang indah kerap bertangkai duri yang tajam. Mawar dan duri juga menyimbolkan dua sisi kehidupan yang seperti bertolak belakang. Ada suasana bahagia yang bertabur senyum. Dan ada duka yang membangkitkan kesedihan. Tidak banyak yang mampu menyikapi bahagia dan sedih dalam satu bingkai yang sama. Seolah, bahagia adalah puncak di sebuah bukit, dan sedih adalah dasar jurang di sebelahnya. Penuturan berikutnya adalah raihlah bukit dan hindari jurang. Jalaluddin Rumi mengumpamakan kesedihan dan kebahagiaan manusia sebagai sayuran. Tanpa proses lama yang kadang menyedihkan: proses pencucian, berpanas-panas dalam air rebusan; sayuran cuma tinggal seonggok sampah. Dengan proses yang penuh kesedihan itu, sayuran bisa menjadi satu dengan kehidupan manusia. “Hanya melalui kesedihan, penderitaan yang disertai kesabaran, manusia bisa tumbuh menjadi laki-laki sejati.” Kesedihan adalah bagian dari rangkaian panjang menuju cita-cita kebahagiaan. Simpan keperihan menyentuh duri mawar, karena berikutnya akan ada ketakjuban indahnya mawar. Dan begitu pun sebaliknya. Maha Benar Allah swt. dalam firman-Nya, “...supaya kamu jangan bersedih dengan apa yang luput dari kamu, dan jangan terlalu gembira dengan apa yang diberikan-Nya kepadamu....” (QS. 57: 23) Muhammad Nuh