Friday, August 05, 2005


Otak Kosong
Oleh : Zaim Uchrowi
Seberapa cerdaskah sebenarnya orang Indonesia? Mantan presiden, BJ Habibie, pernah memimpin tim dari berbagai bangsa untuk mengembangkan teknologi tinggi. Ia tak hanya mengoordinasi orang-orang dari Dunia Ketiga. Ia juga berpengalaman mengepalai tenaga-tenaga ahli dari bangsa-bangsa maju. ''Yang paling hebat adalah tenaga-tenaga ahli Indonesia,'' tegas Habibie dalam suatu percakapan pribadi. Bukan dalam orasi publik.
Habibie tidak asal bicara. Para siswa Indonesia membuktikan bahwa saban tahun selalu meraih medali emas dalam berbagai olimpiade ilmu pengetahuan internasional. Pencapaian itu tak terimbangi Amerika Serikat atau Australia. Selain itu, salah satu penemu planet terakhir adalah peneliti Indonesia di Jerman. Tokoh kunci yang membuktikan kebenaran Teori Six Degrees Separation yang mengguncang dunia sosiologi di awal abad ke-21 adalah alumnus ITB yang mengambil program doktornya di Amerika. Sebuah pencapaian yang tampaknya tak akan terjangkau oleh bangsa seperti Singapura.
Banyak yang menyebut bahwa kecerdasan kita kalah dibanding orang-orang India dan Cina. Teuku Sani, dosen ITB asal Aceh yang menjadi peneliti terbaik Indonesia 2001, menggeleng kepala. Banyak kawannya dari ITB yang menyebar di berbagai lembaga penelitian dunia. Umumnya mereka mampu menjadi peneliti kunci di lembaga-lembaga tersebut. Pakar TI kita pun tidak kalah, bila tidak malah lebih baik, dibanding para ahli TI India baik di Silicon Valley maupun Banglore. Dengan India kita rata-rata kalah dalam artikulasi dan presentasi. Dengan Cina kita kalah dalam kerja keras.
Sayangnya, tak semua orang Indonesia punya otak penuh seperti itu. Lebih banyak lagi di antara kita yang berotak kosong. Sebagian di antaranya karena gizi buruk serta ketidakberuntungan akibat kemiskinan. Bayangkan, sedikitnya 40 juta saudara kita (sama dengan 10 kali jumlah penduduk Singapura) mengalami kemiskinan yang akut. Sebagian lagi akibat cara pandang hidup salah. Konsumtivisme, eksploitasi publik oleh kalangan industri medis, dan banyak hal lain berperan dalam melahirkan generasi otak kosong.
Seorang dokter anak senior sekelas dr Utami Roesli resah melihat kualitas hidup bangsa ini. Angka kematian bayi masih sangat tinggi. Kemiskinan akut juga berpotensi membesar. Sedangkan kemiskinan selalu menghasilkan generasi otak kosong, dan otak kosong melahirkan kemiskinan berikutnya. Sebuah lingkaran setan yang entah kapan berakhir. Tak heran bila masyarakat dunia meragukan kemampuan Indonesia untuk mencapai ''Millenium Development Goals'' yang menjadi acuan bagi pembangunan dunia.
Kakak kandung almarhum Harry Roesli itu memandang seluruh bangsa ini perlu melangkah tegas mengatasi keadaan itu. Langkah paling strategis yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa susu yang diberikan pada bayi di bawah dua tahun haruslah hanya ASI. ASI akan memotong angka kematian bayi peminum susu formula yang masih sangat tinggi. ASI memberi bayi IQ delapan poin lebih tinggi dibanding bila tak diberikan ASI. ASI juga memberikan kecerdasan emosional (EQ) lebih baik pada anak terkait dengan perkembangan psikologisnya melalui hubungan dengan sang ibu. ASI juga memberi daya tahan luar biasa pada bayi yang tak akan tergantikan oleh bahan pangan apa pun. ''Jangan lupa, ASI adalah zat hidup yang disiapkan Tuhan sebagai makanan bayi,'' tuturnya. Posisinya sebagai zat hidup itu tak akan pernah tergantikan oleh susu sapi olahan pabrik.
''Ini memang ilmu baru,'' kata dr Utami Roesli. Masih sangat sedikit kalangan medis yang mengetahui hal tersebut. Maka, ia terus bergerak mempromosikan ASI. Pada Pekan ASI Internasional minggu ini, ia pun bergandengan tangan dengan Menteri Meutia Hatta dan Aa Gym menggelar gerak jalan di lapangan Monas, Jakarta, Sabtu pagi esok, mempromosikan makanan tunggal bagi bayi sampai enam bulan. Mereka sangat peduli pada bangsa ini. Mereka tak ingin generasi otak kosong menjadi generasi penerus bangsa ini.
republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home